Kabupaten Tasikmalaya, NEWSNTT.COM – Penutupan sementara pembangunan menara tower oleh Bidang Penegakan Peraturan Daerah (GAKDA) Satpol PP Kabupaten Tasikmalaya memang menuai apresiasi dari sebagian masyarakat. Namun di balik dukungan tersebut, muncul persoalan mendasar yang tidak dapat diabaikan: apakah penertiban ini benar-benar dijalankan berdasarkan hukum, atau justru mengabaikan hukum yang seharusnya ditegakkan? Kamis ( 25/12/2025 )
Berdasarkan penelusuran fakta lapangan, tindakan penutupan dilakukan melalui penyegelan lokasi atau pemasangan spanduk bertuliskan “Belum Izin”, tanpa didahului tahapan administratif berupa teguran tertulis maupun Surat Peringatan (SP) 1, SP 2, hingga SP 3. Ketiadaan tahapan ini bukan persoalan sepele, melainkan indikasi awal adanya cacat prosedur dalam penegakan peraturan daerah apalagi tidak adanya keterlibatan PPNS yang memberikan SK Penyegelan tersebut.
Ketegasan Satpol PP memang mendapat sambutan positif. Namun dalam negara hukum, apresiasi publik tidak dapat dijadikan justifikasi untuk menabrak mekanisme hukum. Penegakan perda yang sah tidak diukur dari seberapa cepat atau keras tindakan dilakukan, melainkan dari ketaatan aparat terhadap prosedur yang ditetapkan oleh hukum.
Jika benar tidak ada surat peringatan yang diterbitkan, maka penutupan tersebut patut diduga melanggar asas kepastian hukum dan asas kecermatan, yang menjadi fondasi utama dalam setiap tindakan administrasi pemerintahan.
GAKDA Satpol PP Kabupaten Tasikmalaya berdalih bahwa penyegelan dilakukan dalam koridor non-yustisi. Namun fakta di lapangan menunjukkan tindakan yang secara nyata menghentikan kegiatan pembangunan dan membatasi aktivitas usaha.
Dalam doktrin hukum administrasi, tindakan non-yustisi seharusnya bersifat pembinaan dan peringatan. Ketika aparat langsung melakukan penyegelan fisik tanpa peringatan bertahap, maka tindakan tersebut patut diduga sebagai bentuk penyimpangan penggunaan kewenangan, bahkan berpotensi masuk dalam kategori tindakan sewenang-wenang (willekeur).
Surat peringatan bukan sekadar formalitas administratif, melainkan instrumen hukum yang menjamin hak pihak yang diperiksa. Dengan mengabaikan SP 1 hingga SP 3, GAKDA Satpol PP Kabupaten Tasikmalaya patut diduga tidak menjalankan SOP secara utuh dan konsisten.
Situasi ini menimbulkan ironi serius: penegak peraturan daerah justru berpotensi melanggar ketentuan penegakan itu sendiri. Jika aparat dapat mengesampingkan prosedur, maka pertanyaan yang muncul adalah di mana batas kewenangan dan akuntabilitas penegakan perda
Lebih jauh, penelusuran juga mengindikasikan bahwa penyegelan dilakukan tanpa didukung keputusan tertulis yang memuat dasar hukum, pejabat berwenang, serta jangka waktu penutupan. Dalam konteks hukum administrasi negara, tindakan faktual semacam ini memiliki konsekuensi hukum yang serius.
Tanpa dasar keputusan yang sah, penutupan tersebut berpotensi dikualifikasikan sebagai tindakan pemerintahan yang melampaui kewenangan dan bertentangan dengan asas akuntabilitas.
Penegakan perda sejatinya bertujuan menjaga ketertiban, bukan menciptakan persoalan hukum baru. Ketika prosedur diabaikan, maka ketegasan yang diapresiasi publik hari ini dapat berubah menjadi objek sengketa hukum di kemudian hari.
Sejumlah kalangan menilai bahwa jika dugaan cacat prosedur ini tidak dijelaskan secara terbuka, maka penutupan menara tower tersebut berpotensi diuji melalui mekanisme hukum administrasi, termasuk pengaduan maladministrasi hingga gugatan ke PTUN.
Publik mendesak agar dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap praktik penegakan perda. Ketegasan tanpa kepatuhan hukum bukanlah penegakan hukum, melainkan potensi penyalahgunaan kewenangan.
Kasus penutupan menara tower ini menjadi ujian integritas bagi penegakan perda di Kabupaten Tasikmalaya. Aparat dituntut tidak hanya tegas, tetapi juga taat hukum, terukur, dan dapat dipertanggungjawabkan secara yuridis.
Jika penegak aturan tidak patuh pada aturan, maka legitimasi penegakan hukum itu sendiri berada dalam posisi yang patut dipertanyakan.
