![]() |
Medali POPDA Bukan Alasan Berbangga, Atlet Rote Ndao Masih Berlatih Tanpa GOR |
NEWSNTT – Pekan Olahraga Pelajar Daerah (POPDA) NTT 2025 kembali mengangkat nama Rote Ndao di kancah olahraga pelajar. Kontingen Rote Ndao berhasil membawa pulang 1 emas, 2 perak, dan 4 perunggu dari cabang tinju dan taekwondo.
Wakil Ketua I Pertina Rote Ndao Bidang Organisasi, Bruce King Nitte, menyebut capaian ini membuktikan daya saing atlet muda Rote Ndao. Medali emas dipersembahkan oleh Filpin Adu, perak diraih Yalen Sine dan Ferdi Pandie, sementara Darling Poeh serta Filiana Killi meraih perunggu. Dari cabang taekwondo, Archel Pua turut menyumbang satu perunggu.
Namun di balik prestasi ini, Bruce menegaskan ada pekerjaan rumah besar yang tidak boleh diabaikan. Menurutnya, tanpa pembinaan jangka panjang dan fasilitas latihan yang memadai, sulit bagi Rote Ndao untuk bersaing secara konsisten. “Anak-anak kita sudah membuktikan diri, tetapi kita tidak bisa hanya mengandalkan semangat. Harus ada sarana pembinaan yang layak,” ujarnya.
Ia secara terbuka meminta Bupati Rote Ndao untuk segera membangun gedung serbaguna atau GOR khusus pembinaan atlet. Fasilitas itu dinilai mendesak karena selama ini atlet Rote Ndao berlatih di tempat seadanya, jauh dari standar pembinaan olahraga modern.
“Prestasi ini jangan hanya dilihat sebagai kebanggaan sesaat. Tanpa fasilitas, prestasi anak-anak kita akan mandek. Pemerintah harus turun tangan, jika tidak, kita hanya melahirkan juara-juara instan, bukan tradisi juara,” tegas Bruce.
Analisis Editorial
Prestasi di POPDA 2025 memang patut diapresiasi, tetapi juga harus menjadi alarm keras bagi pemerintah daerah. Rote Ndao selama ini dikenal sebagai gudang atlet potensial, terutama di cabang-cabang bela diri. Sayangnya, bakat tersebut tidak ditopang oleh infrastruktur olahraga yang memadai.
Jika dibandingkan dengan kabupaten lain di NTT, kesenjangan fasilitas terlihat mencolok. Kupang, Sikka, TTS, bahkan Belu sudah memiliki gedung olahraga representatif, sementara Rote Ndao masih bertumpu pada ruang latihan seadanya. Akibatnya, atlet berprestasi sering kali tidak bisa mengembangkan diri lebih jauh, meski bakat mereka sejajar bahkan lebih unggul.
Kritiknya jelas: pemerintah daerah lebih sibuk menggelar seremoni dan memberi ucapan selamat ketimbang menyiapkan pondasi jangka panjang bagi olahraga. Jika pola ini terus berulang, maka setiap prestasi hanya akan menjadi euforia singkat tanpa dampak berkelanjutan.
Masyarakat, orang tua atlet, hingga pengurus cabang olahraga berhak menuntut pemerintah untuk tidak lagi menunda pembangunan GOR Rote Ndao dan Asrama Konsentrasi Atlet atau di Sebut Tempat Trening Center (TC). Fasilitas itu bukan sekadar gedung, melainkan investasi masa depan bagi generasi muda.
Karena sejatinya, medali yang dibawa pulang atlet di POPDA kali ini bukan hanya simbol kemenangan, tetapi juga jeritan sunyi agar pemerintah mendengar kebutuhan dasar dunia olahraga Rote Ndao.**