KRISIS DEMOKRASI: GELOMBANG PROTES MELAWAN RUU TNI DAN REZIM PRABOWO-GIBRAN

 


NEWSNTT.COM, JAKARTA - Sejak 20 Maret 2025, gelombang aksi massa terus berlangsung di berbagai kota di Indonesia, menuntut pencabutan RUU TNI yang dinilai mengancam demokrasi dan memperbesar kewenangan militer dalam kehidupan sipil. Mahasiswa dan rakyat yang tergabung dalam Front Mahasiswa Nasional (FMN) serta berbagai organisasi lain, menilai pengesahan RUU ini dilakukan secara diam-diam dan tanpa partisipasi publik yang memadai, mengkhianati amanat reformasi 1998 yang menegaskan pemisahan militer dari ranah sipil. (Jumat, 28/03/2025)

Aksi protes yang berlangsung di 57 kota di seluruh Indonesia, termasuk Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Makassar, hingga Kupang, berujung pada represifitas aparat. Laporan dari berbagai sumber menyebutkan lebih dari 100 orang ditangkap, ratusan lainnya mengalami luka-luka, serta sejumlah peserta aksi dilaporkan hilang.

Gelombang Represi: Kekerasan Aparat di Berbagai Kota

Dari data yang berhasil dihimpun:

Jakarta: Puluhan massa mengalami luka-luka, tiga orang dipukul berulang kali setelah aksi dibubarkan secara paksa, dan enam orang harus dirawat di RS Pelni.

Malang: 14 orang luka-luka, 7 dilarikan ke rumah sakit, 10 dilaporkan hilang.

Surabaya: 25 orang ditangkap, dua jurnalis menjadi korban kekerasan.

Bandung: 25 orang luka-luka.

Bogor: Gas air mata ditembakkan ke arah massa, 13 orang ditangkap, termasuk lima anak di bawah umur.

Kediri, Bekasi, Karawang, Sukabumi, dan daerah lainnya juga mengalami insiden serupa, dengan total puluhan korban yang mengalami luka-luka dan penangkapan sewenang-wenang.

Fenomena ini menunjukkan pola kekerasan negara terhadap rakyat yang menuntut hak-hak demokratisnya. Dalam beberapa kasus, dilaporkan bahwa aparat juga menggunakan mobilisasi preman, penyadapan media sosial, serta serangan terhadap tim medis yang membantu korban aksi.

RUU TNI: Demokrasi dalam Ancaman?

Pengesahan RUU TNI disebut sebagai langkah mundur bagi demokrasi Indonesia. Salah satu poin kontroversial dari revisi undang-undang ini adalah memperluas kewenangan militer dalam urusan sipil, termasuk dalam sektor keamanan dalam negeri, ketahanan pangan, serta proyek infrastruktur strategis. Hal ini dinilai menghidupkan kembali dwifungsi ABRI yang telah dihapus pasca-Reformasi 1998.

Banyak pihak mengkhawatirkan bahwa revisi ini akan digunakan untuk mengamankan kepentingan bisnis kelompok elite serta korporasi besar, dengan melibatkan militer dalam proyek perampasan tanah, penggusuran, dan penindasan gerakan buruh.

Tak hanya itu, FMN dan kelompok mahasiswa juga menyuarakan penolakan terhadap berbagai kebijakan lain yang mereka anggap anti-demokrasi dan pro-oligarki, termasuk RUU Polri, revisi KUHAP, dan revisi UU Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas). Mereka menilai bahwa revisi undang-undang ini hanya akan memperparah komersialisasi pendidikan, membatasi kebebasan akademik, serta memperkuat otoritarianisme di ranah sipil.

Ekonomi Terpuruk: PHK Massal dan Krisis IHSG

Di sisi lain, kondisi ekonomi nasional juga menjadi pemicu keresahan sosial yang lebih besar. IHSG mengalami penurunan signifikan sebesar 6% pada 18 Maret 2025, menambah tren pelemahan sebesar 18% sejak Oktober 2024. Perusahaan besar seperti Sritex, Sanken, Yamaha, dan KFC melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran, mengakibatkan puluhan ribu buruh kehilangan pekerjaan.

Sementara itu, proyek-proyek infrastruktur yang dikendalikan negara justru menjadi sumber konflik baru, seperti insiden longsor limbah nikel di kawasan IMIP yang menewaskan tiga buruh pada 21 Maret lalu. Hal ini menunjukkan bahwa ekspansi kapitalisme birokratik di bawah rezim Prabowo-Gibran tidak hanya mengancam demokrasi, tetapi juga mengorbankan keselamatan pekerja dan lingkungan.

Seruan Perlawanan: Gerakan Rakyat Menguat

Dalam pernyataan sikapnya, FMN menyerukan tujuh poin utama, termasuk pencabutan UU TNI, penghentian represifitas aparat, penolakan terhadap RUU Polri dan RUU Sisdiknas, serta jaminan kerja bagi buruh yang terkena PHK. Selain itu, mereka juga menekankan pentingnya membangun solidaritas internasional dengan gerakan rakyat di Myanmar, Argentina, Serbia, Yunani, Malaysia, Filipina, Palestina, dan India, yang tengah menghadapi persoalan serupa: meningkatnya represi negara terhadap perjuangan rakyat.

Sebagai respons, gerakan mahasiswa dan rakyat mulai menggalang mobilisasi lebih besar dalam kampanye anti-revisi UU Polri, KUHAP, dan Sisdiknas, yang mereka anggap sebagai ancaman lanjutan terhadap hak-hak sipil dan demokrasi di Indonesia.

Dengan meningkatnya tekanan publik dan eskalasi aksi massa, pertanyaan besar yang muncul adalah sejauh mana pemerintah akan merespons tuntutan rakyat? Apakah rezim Prabowo-Gibran akan tetap melanjutkan kebijakan ini dengan tangan besi, atau justru memilih untuk membuka ruang dialog yang lebih demokratis?

Yang jelas, gelombang perlawanan belum mereda—dan pertempuran untuk mempertahankan demokrasi baru saja dimulai.

Penulis : Djohanes Bentah 

Lebih baru Lebih lama

Tag Terpopuler