NEWSNTT.COM, TTS – Semangat masyarakat di wilayah Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), untuk memekarkan diri menjadi kabupaten baru terus menyala sejak tahun 2010. Dengan membawa nama Kabupaten Amanuban, perjuangan ini dilandasi oleh kenyataan bahwa luasnya wilayah TTS yang terdiri dari 33 kecamatan dan 268 desa membuat alokasi dana pembangunan tidak merata dan tidak cukup dirasakan oleh seluruh masyarakat.
Ketua Panitia Pemekaran Kabupaten Amanuban, Yosua Leo, menegaskan bahwa pemekaran ini bukan sekadar wacana, melainkan kebutuhan nyata demi peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.
“Dengan wilayah seluas ini, secara administratif keuangan negara yang beredar tidak cukup menyentuh semua lapisan masyarakat. Satu-satunya cara adalah melalui pemekaran, agar pendapatan daerah bertambah dan pembangunan lebih merata,” tegas Yosua.
Panitia pemekaran telah dibentuk sejak 2010, dan meskipun banyak pejuang awal kini telah lanjut usia atau sakit, semangat perjuangan tetap diteruskan. Saat itu, TTS memiliki tiga wilayah yang mengajukan pemekaran, yakni Amanatun, Mollo, dan Amanuban. Dari ketiganya, Amanatun dan Amanuban telah memenuhi syarat administrasi sesuai undang-undang. Namun, hingga kini pemekaran belum dapat terlaksana karena adanya moratorium dari pemerintah pusat.
“Kami berharap kebijakan moratorium segera dicabut. Jika daerah lain bisa mekar, kenapa kami tidak? Ini bukan soal ambisi, ini tentang keadilan,” kata Yosua.
Wilayah yang diusulkan sebagai bagian dari Kabupaten Amanuban mencakup tujuh kecamatan: Batuputih, Amanuban Selatan (Panite), Kualin, Noebeba, Kuanfatu, Kolbano, dan Kotolin. Penetapan ibu kota direncanakan di Kecamatan Kualin karena letaknya strategis dan sesuai dengan ketentuan undang-undang (berjarak maksimal 40 km dari ibu kota kabupaten induk). Dengan jumlah penduduk yang terus bertambah dan pemilih mencapai lebih dari 70 ribu jiwa, Amanuban Selatan dinilai sangat layak menjadi daerah otonomi baru.
Penetapan nama Amanuban juga telah melalui diskusi panjang bersama akademisi. Nama ini diambil dari wilayah historis Kerajaan Amanuban yang telah ada sejak sebelum penjajahan Belanda. Selain tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, nama ini juga tidak digunakan oleh kabupaten lain sehingga sah secara administratif.
“Ini negara hukum, bukan negara kerajaan. Kalau sah menurut undang-undang, maka tidak ada yang perlu dipersoalkan soal penggunaan nama Amanuban,” tambah Yosua.
Dukungan terhadap perjuangan ini juga datang dari tokoh masyarakat dan para wakil rakyat. Anggota DPRD Provinsi NTT, David Boimau, menyampaikan terima kasih atas kerja keras panitia dan menyatakan komitmennya untuk terus mendorong realisasi pemekaran ini.
“Proses ini sudah melalui tahapan DPRD dan Bupati, bahkan pernah disetujui secara administratif. Namun belum disahkan secara politik waktu itu. Kami di DPRD Provinsi akan terus kawal, termasuk memperkuat lobi dengan partai-partai lain untuk memperjuangkan aspirasi ini,” ungkap David.
Sementara itu, Anggota DPR RI, Usman Husin, juga memberikan pernyataan tegas mendukung perjuangan masyarakat Amanuban.
“Dengan jumlah penduduk lebih dari 400 ribu jiwa, lebih dari 260 desa, dan wilayah yang sangat luas, pemekaran TTS adalah kebutuhan mendesak. Saya sendiri memfasilitasi langsung aspirasi dua calon kabupaten: Amanuban dan Amanatun,” ujar Usman.
Ia menambahkan bahwa wilayah Amanuban Selatan memiliki posisi strategis karena berbatasan langsung dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Australia dan Timor Leste, menjadikannya sangat penting dari sisi geopolitik dan ekonomi.
“Pemerintah pusat harus hadir. Kami memang bukan Jakarta, Bali, atau Surabaya. Tapi kami ini pintu gerbang negara. Sudah saatnya negara memberi perhatian lebih bagi kawasan perbatasan seperti Amanuban,” tutup Usman.
Penulis : Firdan Nubatonis